Resensi Buku; Catatan Musafir Tanah Haram

Catatan Musafir Tanah Haram merupakan sebuah catatan ruhaniah seorang Heri “Cokro” ketika melakukan perjalanan ziarah umroh ke tanah suci. Diterbitkan oleh Diandra Kreatif/Mirra Buana Media di bulan November 2020. Buku berjumlah 56 halaman dengan dimensi 14×20 cm ini, merupakan buku cetakan pertama yang ditulis oleh si empunya perjalanan, Cokro.

Ada 21 puisi yang tersusun dalam bait-bait indah. Sederhana tapi dalam. Bagi mereka yang pernah singgah ke tanah suci, pasti akan merasakan getaran tersendiri saat membaca tiap bait puisi yang ditulis penuh makna. Setiap tempat membawa ceritanya masing-masing. Untaian kisah seolah dipampang dengan jelas, berbaur dengan metafora maupun diksi-diksi yang ciptakan debar

Dalam ziarah, merupakan titik awal bahwa seorang Heri “Cokro” tidak pernah bermimpi untuk dapat melambung ke tanah suci. Namun, pada akhirnya ia menyadari, betapa Tuhan memiliki cara untuk mengundang seorang hamba untuk bertandang ke rumah-Nya, tanpa memandang siapa pun mereka.

“Ya Alloh tenggelamkan sejuta dosaku hingga ke dasar cinta-Mu. Ya Allah hujamkan belati kasih-Mu tepat di jantung ingkarku, lalu izinkan aku kembali sebagai diri yang tak goyah dengan segala tipu palsu. Lalu, biarkan aku kembali berdiri sebagai manusia yang tak mudah luka dan lena.”

“Subhanaka innii kumtu minadz dzolimin…”

“Entaskanlah aku dari jurang kenistaan sbagai hamba yang tak henti menganiaya diri sendiri…”

Dalam Panggilanmu, “Sampai di ujung harap, hanya Engkau alamat segala dapat… Aku lenyap dalam-Mu. Engkau lesap dalam Aku.”

Dalam Sa’i, “Sampai di Puncak Marwa yang hampa. Kembali ke Bukit Shofa yang tak menjanjikan apa-apa. Demikian bolak-balik dari awal, berupaya, menderita, dan terlunta. Jatuh bangun mengejar dunia yang tak ada.”  

Menatap Ka’bah; Putaran planet di orbit yang terikat gravitasi matahari

Di Jabal Rahmah: Jabal Rahmah adalah wajah kita. Wajah yang bopeng dan coreng. Cinta yang kita ikrarkan di puncak bukit ini. Dihianati perilaku saling melukai sesama diri.

Di antara potongan bait-bait puisi di atas, masih banyak puisi-puisi yang baitnya serasa menggetarkan jiwa. Potongan kisah Ibu Khadijah dan Rosululloh dalam puisi bertajuk Di Ma’la serta puisi Di Raudhoh sebagai bentuk kerinduan akan Nabi terakhir yang dijadikan panutan oleh jutaan umat. Di Raudhoh merupakan puisi yang seolah mampu mewakili tingginya kerinduan yang bercampur keraguan, akankah Dia berkenan atas tiap depa perilaku kami? Umatnya? Akan tetapi, di akhir bait puisi itu pun lahirlah kesejukan.

“tapi

cahaya parasmu

menerangi jelaga kami

yang terbakar matahari”

Keinduan itu pun terpupuk kian sempurna, Ya… Muhammad!

Baqi; “Di pandang tandus ini terbaring jasad para syuhada. Manusia utama inspirasi peradaban manusia. Kubur mereka hanya tanah rata. Sedang kubur kita begitu bertabur sejuta tanda. Meski tak memberi guna bagi peradaban bangsa…”

Walaupun, tidak ada satu hal yang dapat diterka dalam sebuah puisi. Karena bait-bait puisi itu hanyalah mutlak milik si empunya, baik maksud, arah, maupun maknanya. Namun, setidaknya puisi dalam catatan ini memberikan kita gambaran yang meluas. Membuat adonan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang cukup terasa manisnya, gurih, bahkan pahit. Tentunya, sesuai dengan penginderaan yang ditangkap oleh para  pembaca. [epl/]

1 comments

Tinggalkan komentar