Preambul: Jiwa-jiwa yang Lelah

Jiwa-jiwa yang Lelah

“Happy Ramadhan!” Pekik Hanah di sisi Cimut. “Senang, ya, ketemu puasa lagi?”

Cimut hanya manggut-manggut, lalu menyeruput kopinya. Hanah mengerutkan dahi, melihat sahabatnya berperilaku di luar ekspektasi. Walaupun dia tahu, kalau Cimut itu memang tipe cewek yang enggak akan jejeritan seheboh dia. Mau ketemu sama hari apa pun. Ekspresinya tetap datar-datar saja; ‘nolep’, kalau kata anak-anak zaman sekarang, mah.

Ramadhan dan puasa. Kuduna, semua orang harus berbahagia dong?

Tapi, sekarang itu, kan, masa pandemi. Peningkatan jumlah kemiskinan yang mungkin belum beres-beres juga, harga bahan pokok maupun bbm yang secara ghoib tiba-tiba meningkat (ini, mah, enggak anehlah. Kan, setiap puasa dan lebaran harga-harga memang pada naik kelas. Eh!), dan pola pikir masyarakat yang secara auto, sengaja digiring ke sana-sini. Hal seperti ini pun, bertransformasi menjadi lecutan-lecutan kecil dalam otak Cimut. Halahhh! Cimut dan otaknya mulai berulah lagi, kan… kaan… kaaan?

Tapi, serius! Ini, tuh, enggak ubahnya seperti teori merebus katak. Iya, ndak, sih? Yang ada dibuku Ihwal Sesat Cacat Logika? Mungkin, perubahan ini dari zaman baheula sudah mulai berjalan dengan proses yang pelan. Tanpa disadari oleh mereka-mereka yang hobi merenung siga Cimut. Giliran semua mulai terkuak, sekaligus memapari orang yang haus akan kepentingan, alhasil semua jadi ambyar!

Dalam kondisi begini. Satu-satunya orang yang salah, ya, Cimut. Kenapa pula dia harus menuh-menuhin otaknya sama hal-hal seperti ini. Kalau, otaknya tidak dijejal-jejalin sama hal yang cuma menuh-menuhin doang, kan, seenggaknya dia bisa seperti Hanah, yang hobi teriak-teriak di kuping orang tanpa berdosa ‘Happy Ramadhan!’

Tapi, ya, itulah Hanah yang heboh enggak jelas. Mana dia paham kalau temannya itu sudah ngeluarin alarm di atas kepalanya. Akibat dari kekisruhan hidup, layaknya Markesot yang hobi nyari Kyai Sudrun. Padahal sudah jelas, Tuhan melarang manusia untuk menganiaya dirinya sendiri. Salah satunya adalah dengan menuh-menuhin kepala untuk memikirkan sesuatu yang enggak perlu dipikirkan.

Tapi, kelelahan itu ya tetap kelelahan. Enggak mungkin berubah dengan kebahagiaan, ketertawaan, kenyamanan, dan lain-lain. Kelelahan adalah suatu kondisi ketika kamu mulai enggak mau menanggapi orang-orang ‘rame’ macam Hanah atau siapa pun yang bikin kepalamu ngebul. Itu baru lelah badan dan pikiran. Nah, kalau yang lelah jiwamu, itu lebih kusut lagi. Nampaknya, kelelahan macam inilah yang tengah dialami oleh Cimut. Satu momen yang dinamakan ‘tired of soul’ .

Momen kelelahan jiwa itu merupakan satu momen yang semua kebenaran berasa salah, semua kebaikan berasa jelek, dan semua perilaku berasa ambyar. Momen di mana kebaperan menjadi kebutuhan primer dan kesabaran menjadi kebutuhan sekunder. Kesedihan dan kekecewaan terus merisak tanpa sebab yang pasti. Dia seperti orang depresi yang tetiba berasa pengen banget melempar-lempar piring atau tepung ke udara, laiknya chef Bobon Santoso yang mulai beresperimen sama masakannya. Sedikit barbar, sih. Tapi, ya sudahlah. Seenggak-enggaknya, dia berhasil mengekspresikan kegilaan hidupnya.

Atau, mungkin keinginan bunuh diri tiba-tiba datang begitu kuat. Walaupun, dia bersumpah, kalau hidupnya normal. Tidak mengidap bipolar dan teman-temannya. Tapi, gara-gara terlalu sibuk memikirkan orang lain, kadang keinginan bunuh dirinya pun ke cancel dulu. Ya, minimal Cimut enggak egois-egois banget, lah.

“Hei… Ya Latif, jadikan aku bagian dari mereka yang bisa memberi manfaat dan kenyamanan bagi orang lain.”

Kira-kira, begitulah yang dimunajatkan Cimut kepada Tuhan sembari menuang kopi tanpa gula dari moka pot ke cangkir. Jadi, bisikan itu bisa saja menjadi cara Tuhan untuk memalingkan keinginan dari memegal umurnya sendiri. Mungkin, loh. Ini mungkin!

Kelelahan Cimut itu sudah sampai pada puncaknya. Dan, dia hanya menyimpannya sendiri. Memilah-milah dan kembali membangun apa yang bisa ia bangun. Dan, berusaha meniduri apa yang bisa ia tiduri, eh! Maksudnya meredam. Cimut hobi meredam, maka dari itu, ia terkadang terlihat lebih pendiam karena dalam rangka meredam itu. Bahkan, kalau perlu, dia akan buat tanda peringatan ‘Awas Anjing Galak!’

Ramadhan bulan mulia. Maka, diperintahkan bagi kita untuk berpuasa. Puasa dalam konteks yang bermacam-macam. Makna puasa itu, jarang bisa merasuki kepala orang-orang yang mengalami kelelahan jiwa. Itu sebabnya, kita difasilitasi oleh Tuhan untuk cooling down sementara. Mendinginkan jiwa-jiwa yang brutal bersama antek-anteknya. Mungkin di sinilah fokusnya! Kebrutalan jiwa!

Jiwa kita itu, bila sudah merasa bosan atau suntuk, lalu dibiarkan berlarut-larut maka bisa menjadi kebutaan hati, yang ujung-ujungnya bisa membuat depresi, loh! Makanya, yang seperti ini harus diberesin. Dan, jangan lupa juga, yang diberesin itu jiwanya, bukan orangnya. Jadi, enggak boleh salah, tuh! Enggak boleh memangkas umur, karena umur itu bukan bonsai apa lagi bon cabe! (Apalaah, Kakak ini!)

“Lalu, di tengah kelelahan ini, apa yang harus aku lakukan, duhai kerang ajaib?” Cimut berujar dalam kendali diri yang sempurna.

Fokuslah dalam menentramkan diri, curhat sama Tuhan, dan hindari hal-hal yang memancing, apa pun jenis pancingannya. Mau emosi, kek. Mau pikiran, kek. Apalagi memancing kita, buat buka puasa di bedug dhuhur. Kagak boleeh!

Cooling down hati dan jiwa di bulan puasa, sesungguhnya merupakan jalan paling hakiki buat jiwa-jiwa tersesat seperti Cimut. [epl*]

Tinggalkan komentar