Cimut dan Kucing yang Berisik

Cimut masih tetap menatap anak kucing yang terus mengeong, tanpa ada kesadaran dari istri Kang Mukmin itu untuk mengulurkan tangan – memberi pertolongan. Entah apa yang dipikirkan oleh perempuan itu. Karena semenjak keramaian yang beredar di wilayahnya terkait para kucing yang tidak tahu diri karena buang hajat sembarangan, Cimut mulai hati-hati dalam memberi pertolongan. Karena konon, tetangganya ikut misuh-misuh dan melabeli para kucing itu sebagai kucing yang tidak tahu diri.

Tidak ada kebaikan atau keburukan yang ditimang dalam benaknya. Karena bagi Cimut memberi pertolongan atau tidak sama saja, bila yang kamu tolong adalah sebangsa kewan alias hewan. Toh, mereka memang diciptakan untuk nggak tahu diri bahkan nggak punya malu. Tapi, nyatanya banyak kisah tentang hewan yang membawa para penolongnya berleha-leha di surga. Jadi, setidak tahu dirinya mereka, nyatanya mereka menuntun kita ke surga, loh!

Tapi, nyatanya banyak kisah tentang hewan yang membawa para penolongnya berleha-leha di surga.



Dan, Cimut masih tetap menonton. Hingga suaminya muncul dari balik pintu seraya menenteng seember air, buat siram-siram jalan yang memang lumayan berdebu itu.
“Kamu ngapain? Kucing ngeong-ngeong bukannya diusir. Malah dilihatin.”
“Aku cuma pura-pura jadi patung, Kang. Biar nggak dikira ngasih harapan atau justru sebaliknya, ndak punya hati.”
Kang Mukmin menatap istrinya bingung.
“Semua orang melancarkan serangan pada binatang ini, karena mereka pub sembarangan.”
“Lha, namanya ya binatang. Wajar kalau pub sembarangan. Makanya, ditandain saja kucing mana yang cari masalah. Yang hobi buang hajat sembarangan.”
“Tapi, kami nggak sekurang kerjaan itu, Kang. Urusan kami itu banyak. Mana sempat nandain kucing.”
“Kalau gitu, pukul rata aja. Usir semua kucing-kucing itu.”
“Apalagi itu. Kan, sama saja kita nggak berperi kekucingan. Itu ada, kan, volunter yang di demo warga gara-gara ngumpulin kucing yang ngegembel.”
“Ya terus kamu maunya gimana?”
“Ya begini saja.”
Kang Mukmin geleng-geleng kepala. Lalu mulai menyirami tanah di halaman depan rumahnya.
Aroma petrikor menguar. Ternyata bukan hanya hujan pertama yang mampu memunculkan aroma ini. Tapi, hujan buatan Kang Mukmin pun mampu membangunkan mikrobakteri yang kelamaan tidur itu; sehingga menghasilkan geosim yang beraroma menenangkan.

Kembali Kang Mukmin menatap istrinya aneh. “Kamu benar-benar nggak punya kerjaan, ya?”
Cimut tertawa. “Aku justru lagi kerja.”
“Kerja apa?”
“Mengawasi sampeyan, lah.”
“Aku nggak butuh pengawas.”
“Kalau begitu aku ngawasin kucing aja.”
“Kucingnya sudah pergi gara-gara aku siram-siram.”
Cimut tampak celingukan mencari kucing yang tadi sibuk mengeong di hadapannya. “Loh, kemana perginya?”
“Mana kutahu. Aku terlalu sibuk buat ngawasin kucing,” jawab Kang Mukmin.
Cimut manggut-manggut. “Jadi, intinya belajar mendengar dan melihat tanpa berekspresi itu adalah satu-satunya cara buat menghadapi kucing yang nggak tahu diri dan berisik.”
Kang Mukmin terdiam. Laki-laki itu hanya mampu menatap punggung istrinya yang telah menghilang di balik pintu. “Seandainya dia tahu, menyiram kucing yang berisik itu lebih efektif dibanding cuma melototin.” [epl*]

menyiram kucing yang berisik itu lebih efektif dibanding cuma melototin.”

Tinggalkan komentar