Resep Hidup Bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram

Siapa yang tidak ingin hidup bahagia di dunia ini? Karena kita sendiri tahu, perjalanan hidup di buminya Tuhan itu layaknya roda. Kadang di atas, kadang di bawah, namun tidak jarang juga malah ‘ndlosor‘ alias maju terus nggak ada rem, yang berujung nabrak atau justru terjungkal.

Itu baru perkara roda kehidupan, loh. Belum lagi kita dihadapkan oleh kebaperan-kebaperan yang secara tidak langsung berimbas pada keringkihan mental, selaku manusia yang hidup dengan anugerah akal dan perasaan.

Lalu, sesimpel apa, sih, bahagia itu? Kata orang, bahagia itu tergantung dengan keinginan kita. Semakin banyak keinginan manusia, maka semakin sulitlah ia merasa bahagia. Tapi, ada juga yang bilang kalau bahagia itu tergantung dengan apa yang kita pikirkan. Seperti prasangka kita pada Tuhan, gitu?

Nah, daripada menerka atau meraba-raba bahagia itu seperti apa, ada baiknya kita mengenal satu sosok yang mungkin bisa memberi kita sedikit momen euforia atau malah menimbulkan teori ledakan serupa big bang dalam pikiran kita.

Namanya Ki Ageng Suryomentaram. Lelaki kelahiran  tahun 1892 ini dikenal memiliki pemikiran serupa filsuf Barat Jurgen Habermas. Merupakan seorang pangeran putra Sri Sultan Hamengkubuwono VII  dengan BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo Putri. Beliau merupakan orang yang dikenal aktif dalam berdiskusi dengan Ki Hadjar Dewantara serta kawan-kawannya. Dan, sebelum tinggal di Bringin Salatiga, beliau memilih untuk mengembara ke beberapa daerah. Beliau pun dikenal sebagai guru ilmu kawruh jiwa (ilmu hidup bahagia).

Ilmu kawruh jiwa merupakan satu ilmu yang menurut Ki Ageng Suryamentaram merupakan satu titik kulminasi di mana seseorang bisa memperoleh kebahagiaan sejati. Mengapa sejati? Karena setiap orang yang mendapatkan sesuatu yang  sejati maka telah lengkaplah hidupnya. Lalu, serupa apakah ilmu kawruh jiwa itu? Jika kesejatian merupakan pilihan hidup untuk mencapai kebahagiaan.

Kawruh jiwa merupakan satu ilmu di mana seseorang mampu memahami dirinya secara benar, tepat, dan jujur. Kenapa harus jujur? Karena manusia itu paling hobi melakukan pembenaran-pembenaran atas kesalahannya. Mereka sulit menerima bahwa sebenarnya yang mereka lakukan salah. Disinilah pentingnya kejujuran dalam menilai diri, agar manusia itu bisa melakukan perbaikan-perbaikan atas dirinya. Selain itu, manusia acapkali menggunakan standar yang tidak tepat untuk dirinya sendiri. Tidak sadar kemampuan dan menuntut diri dengan standar yang sebenarnya tidak relevan. Sehingga standar yang dibangunnya menyesatkan diri sendiri. Maka, penting mencari standar yang benar dan tepat dalam hal ini pas atau sesuai dengan ruang, situasi, dan waktu.

Jalan Kebahagian

Dalam konsep Ki Ageng Suryomentaram ada beberapa jalan untuk mencapai kebahagiaan, antara lain: Mawas diri dan menyadari apa yang membuat kita senang maupun susah beserta atributnya.

Ada 3 atribut seseorang yang membuatnya senang atau justru sebaliknya. Ketiganya adalah Kekayaan, derajat (kedudukan), dan kekuasaan. Kebanyakan manusia takut kehilangan ketiga atribut ini sehingga  membuat hidupnya tidak bahagia; susah.  Oleh sebab itu, kita dituntut untuk memisahkan diri dengan ketiga atribut tersebut sehingga menjadi manusia tanpa ciri. Keuntungan dari kemampuan memisahkan diri dengan ketiga atribut tersebut adalah menjaga mental kita agar tetap sehat atau pikiran kita tetap jernih ketika kita kehilangan ketiganya.

Apakah sebagai manusia kita seriusan harus melepas atribut tersebut? Lalu, bagaimana kita bisa bersosialisasi tanpa atribut tersebut?

Mungkin, bagi sebagian orang melepaskan atribut itu begitu sulit. Namun, berusahalah untuk menjaga jarak. Bukan meninggalkan namun memiliki spasi dengan cara menimbulkan kesadaran bahwa atribut tersebut hanyalah peran atau tugas yang sengaja diberikan pada kita. Jadi, pada masanya kita bisa menyadari bahwa atribut yang tersemat pada kita hanyalah peran yang tidak memiliki arti apa pun bagi diri kita yang sejati.

Memahami Keinginan

Tidak ada satu barang pun yang pantas dicari, dihindari, atau ditolak mati-matian di dunia ini. Namun, manusia terus berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari, atau menolak sesuatu walaupun sesungguhnya itu tidak sepantasnya dicari, ditolak, atau dihindari. Padahal jelas apa yang di cari tidak juga bisa membuat seseorang itu bahagia atau senang selamanya, atau celaka maupun susah selamanya. Namun pada dasarnya seseorang berpikir bahwa jika keinginanku tercapai, maka aku akan bahagia selamanya. Dan, bila keinginanku tak tercapai maka aku akan sengsara selamanya.

Ki Ageng Suryomentaram berpendapat bahwa hidup itu dinamis dan berkembang. Ketika seseorang mendapatkan keinginannya maka bukan berarti semua urusannya selesai. Namun, ia akan dihadapkan dengan urusan yang baru.

Keinginan sendiri sebenarnya bisa diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Di mana ketika kita bicara tentang keinginan secara kuantitatif maka kita akan bicara tentang ukuran kemampuan kita dalam menginginkan sesuatu. Jangan jadikan keinginan kita itu sebagai harga mati atau kunci kebahagiaan kita. Pola berpikir demikian adalah ukuran keinginan secara kualitatif. Seandainya keinginan kita bisa terwujud maka kita harus bersyukur. Namun, jika tidak, ya, tidak masalah. Karena kita sendiri kadang menyadari, bahwa wujud satu keinginan kadang tidak sebanding ketika kita mendapatkannya, misalnya ketika kita menginginkan jam atau gawai keluaran terbaru,  ternyata saat kita berhasil mendapatkannya semua terasa biasa saja.

Jadi, hidup bahagia itu adalah berusaha terus mawas diri dan menyadari hal-hal yang bisa membuat kita senang dan sedih, serta jangan pernah menghamba pada satu keinginan karena hidup manusia itu dinamis; kita harus sadar kemampuan dan tidak menjadikan setiap keinginan kita itu sifatnya mutlak; kudu; alias wajib terpenuhi.

Dan, satu hal lagi yang terpenting. Sadari bahwa kita hidup di dunia hanya memainkan peran. Maka, jangan terlalu memusingkan atribut-atribut yang melekat dalam diri kita agar kita tidak merasa terjungkal ketika kita kehilangan. [epl/]

Tinggalkan komentar